Sang Penyulut

Suatu hari, Lusi, salah seorang kawanku menemuiku.  Tujuannya, khusus, curhat !!. Meskipun kadang ketika dia curhat, aku menanggapi curhatnya dengan “pedas”, artinya aku bukan menjadi pendukungnya tetapi justru menyalahkan sikapnya. Tapi kok dia gak kapok-kapok juga datang kepadaku untuk curhat ya??  Mungkin bukan dukungan yang dia inginkan, tetapi “kotak sampah” yang aman untuk membuang semua perasaan negatifnya.  Kalau itu, semoga aku bisa menjaminkannya, menjadi kotak sampah yang bisa menjaga semua perasaan negatf dia busuk sampai hilang ditelan bumi.

Dia pernah bilang begini, ketika itu dia dilanda konflik dengan keluarga suaminya, yang berujung ke pertengkaran hebat. Waktu itu dia sudah bercerita panjang, dan komentarku pendek sekali dan pasti tidak menyenangkan hatinya.  Aku bilang,” saya aneh saja, kok kamu gak pernah cocok dengan keluarga suami kamu. Mereka pun seperti cuek-cuek saja dengan kondisi keluargamu yang butuh bantuan baik finansial maupun moral. Pasti ada sebabnya. Mungkin kamu, Lusi, bicaramu yang kasar itu membuat mereka membencimu”.  Dia langsung terdiam, dan bicara pelan. “mereka itu sering menyulut api dalam diam, dan saya terbakar dan saya ungkapkan kemarahan saya. Karena saya yang marah terbuka, mereka kembali menyalahkan saya. Dan orang lain hanya melihat saya saja yang salah”

Masuk akal juga jawabannya. Bisa jadi seperti itu yang terjadi. Tapi saya gak mau kepo lebih jauh.  Jadi kotak sampah yang bagus saja. Cukuplah..Toh, saya juga gak lihat sendiri kejadian atau pertengkaran yang hebat itu.  Saya juga bukan wartawan yang wajib mencari berita imbangan untuk diwartakan ke media-media sosial.  Pekerjaan saya sudah cukup merepotkan saya kok !

Hal demikian, ‘seorang penyulut api” selalu ada di sekitar kita. Membuat orang-orang di sekitarnya terbakar sampai matang atau bahkan gosong.  Si penyulut membuka topik berita yang pasti dia berpihak kepada berita itu dan pasti berharap sekali pembaca berita memiliki pemikiran yang sama dengannya. Pembaca yang beranek ragam watak, karakter dan latar belakangnya nya cukup banyak, dan terbakar oleh berita yang disampaikan sampai ada yang gosong tak berguna, dan megap-megap bicaranya tanpa aturan dan tanpa dipikir lebih matang.  Mirip Lusi di cerita di atas.  Umumnya mendukung pemikiran si pengirim/pembuat berita (si penyulut api).  Keluarlah caci maki,  dan opini-opini yang mungkin saja itu fitnah, karena dasar opininya juga berasal dari kiriman penyulut berita lainnya.  Tapi kadang ada fakta juga, tetapi kesimpulan dari fakta yang dia lihat sudah dikotori oleh dugaan-dugaan yang keliru. Cenderung ke pelampiasan emosi negatif yang tidak ada kaitannya dengan berita yang dibaca. Mungkin dia ada masalah lain yang amarahnya belum dia lampiaskan.  Jadi, ketika membaca berita itu, dia keluarkan amarahnya, sehingga kata2 yang keluar justru tidak beraturan.  Wallahu’alam.

Tiba-tiba saja ada pembaca yang menyadari kondisi yang tidak sehat itu. Memunculkan opininya juga, tapi tidak turut meniup ‘api”berita yang dibaca.  Berusaha logis. Tapi mungkin tidak sempurna, atau bahkan tidak dipahami oleh pembaca si  pendukung berita yang sudah megap-megap meluapkan emosinya.  Diskusi jadi berputar-putar ke mana-mana, yang bicaranya keras itu yang menang.  Debat kusir tercipta dengan sendirinya dan semakin panas.

Yang bicaranya keras, lupa kepada apa yang opinikan sebelumnya. Menyerang dengan memojokkan non mainstream yang dikatakan telah  membelokkan bahan diskusi, padahal dia yang sudah beropini melebar ke mana-mana. Lalu apa yang dilakukan si penyulut berita?

Yang dilakukan adalah bilang bahwa dia tidak bermaksud seperti yang dikatakan non mainstream..bla..bla..bla…. tapi blo..blo..bloooo…… Ternyata dia tidak mempertimbangkan dengan matang ketika menyajikan topik berita untuk didiskusikan.  Dia tidak siap dengan pemikiran logis, bukan emotional attached yang dia sertakan dalam topik yang dia bawa..

Kita, yang ada di sekitar, sudah terbakar dan mungkin gosong oleh api yang dia bawa..

 

Kampus, 2i Juli 2016

 

S

Tinggalkan komentar